Cagar budaya merupakan harta karun tak ternilai yang mengandung pesona dan makna mendalam dari masa lalu. Di balik setiap cagar budaya tersembunyi cerita-cerita yang mencakup perjalanan sejarah, kearifan lokal, dan identitas budaya suatu masyarakat. Dari monumen bersejarah hingga bangunan megah dan situs religius yang suci, cagar budaya menawarkan pandangan unik tentang bagaimana peradaban manusia telah berkembang dan menghiasi keberagaman dunia.
Setiap negara maupun pasti memiliki cagar budayanya sendiri, yang merupakan simbol identitas, keberagaman, dan ketahanan budaya mereka. Tempat-tempat ini menjadi jendela menuju masa lalu yang mencengangkan, mencerminkan tradisi, kepercayaan, dan kehidupan manusia pada zaman yang berbeda-beda. Melalui upaya pelestarian yang gigih, cagar budaya dijaga agar tetap tegak berdiri sebagai pencerita kisah-kisah luar biasa yang menghubungkan kita dengan warisan nenek moyang.
Salah satu kota di Indonesia yang kaya akan sejarah dan budayanya adalah Pontianak. Pontianak merupakan salah satu wilayah yang menarik untuk dijelajahi di Indonesia. Terletak di Kalimantan Barat, kota ini menyimpan sejumlah cagar budaya yang memberikan gambaran tentang masa lalu dan identitas budaya masyarakatnya. Di antara beberapa situs bersejarah di Pontianak, tiga di antaranya adalah Tugu Khatulistiwa, Istana Kasultanan Kadriah, dan Masjid Jami' Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. Mari kita lihat lebih dekat ketiga cagar budaya yang mempesona ini:
- Tugu Khatulistiwa
(Sumber: http://architectureheritage.or.id/images/places/structures/89/tugukhatulistiwa1.jpg)
Pontianak, sebuah kota yang terletak tepat di lintang nol derajat atau garis khatulistiwa, yang membagi bumi menjadi belahan utara dan selatan. Di tengah-tengah kota inilah Tugu Khatulistiwa berdiri megah, menawarkan pandangan unik tentang peradaban manusia dan keunikan astronomi. Tugu Khatulistiwa terletak di Jalan Khatulistiwa, Kelurahan Batu Layang, Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Sejarah pembangunan Tugu Khatulistiwa Pontianak dapat ditelusuri hingga awal abad ke-20. Pada tahun 1928, sebuah ekspedisi internasional dipimpin oleh seorang ahli geografi Belanda tiba di Pontianak. Misi utama ekspedisi ini adalah untuk menentukan titik persilangan garis khatulistiwa di kota ini. Berdasarkan catatan yang terdapat dalam gedung tugu, ekspedisi ini dilakukan dengan menggunakan ilmu astronomi pada masa itu. Pengukuran dilakukan tanpa teknologi modern seperti satelit atau GPS. Para ahli geografi mengandalkan rasi bintang dan karakteristik alam untuk menetapkan lokasi garis khatulistiwa di Pontianak.
Evolusi tampilan Tugu Khatulistiwa terjadi dalam beberapa tahap. Pada tahun 1928, tugu pertama dibangun dalam bentuk sederhana, berupa tonggak dengan anak panah sebagai penunjuk arah. Kemudian, pada tahun 1930, tugu ditingkatkan dengan tambahan lingkaran dan anak panah, menggambarkan perbaikan dalam konstruksinya. Pada tahun 1938, tugu ini mengalami renovasi yang lebih substansial, dipimpin oleh Opzichter/architect Friedrich Silaban. Tugu asli dari tahun 1928 tetap dapat ditemukan dalam bagian dalam tugu ini.
Perubahan signifikan terjadi pada tahun 1990 ketika Tugu Khatulistiwa direnovasi kembali. Sebuah kubah permanen dibangun untuk melindungi tugu asli dari elemen alam. Selain itu, replika tugu yang jauh lebih besar dibangun di sampingnya. Replika ini mencapai lima kali ukuran tugu asli dan memiliki dua tonggak bagian depan dengan diameter 1, 5 meter serta tinggi 15, 25 meter dari permukaan tanah. Dua tonggak bagian belakang dengan lingkaran dan anak panah penunjuk arah memiliki ukuran yang sama, namun tingginya mencapai 22 meter. Peresmiannya dilakukan pada 21 September 1991 dan mengukuhkan Tugu Khatulistiwa sebagai daya tarik turis yang tak terlupakan.
Salah satu aspek menarik dari Tugu Khatulistiwa adalah representasi astronomi yang terdapat di dalamnya. Tugu ini memiliki diameter lingkaran tengah sepanjang 2, 11 meter yang ditempati oleh tulisan "EVENAAR" dalam bahasa Belanda, yang berarti Khatulistiwa. Selain itu, anak panah penunjuk arah memiliki panjang 2, 15 meter. Di bawah anak panah, terdapat sebuah tulisan plat yang menampilkan angka 109o 20' OLvGr, merujuk pada lokasi berdirinya tugu pada garis bujur timur.
- Istana Kesultanan Kadriah
(Sumber: https://media.suara.com/pictures/653x366/2017/05/23/24833-istana-kadriah.jpg)
Keraton Kesultanan Kadriah dihubungkan dengan tokoh penting dalam sejarah Indonesia, yaitu Sayyid Syarif Abdurrahman Alkadrie (1738-1808M). Dia adalah pendiri dan juga sultan pertama Kesultanan Pontianak. Pada tahun 1771M, Syarif Abdurrahman Alkadrie bersama keluarganya tiba di daerah pertemuan tiga sungai: Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas. Mereka memutuskan untuk menetap di daerah ini setelah melakukan perjalanan dan kontak dagang di berbagai wilayah Nusantara.
Pada tahun 1771M, dimulailah pembangunan Keraton Kadriah. Istana ini dijadikan pusat pemerintahan Kesultanan Pontianak dan menjadi simbol kekuasaan dan kejayaan kesultanan. Setelah selesai dibangun pada tahun 1778M, Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai sultan pertama Kesultanan Pontianak.
Keraton Kadriah memiliki arsitektur yang khas dan mencerminkan kebudayaan Melayu. Bangunan utama istana terbuat dari kayu pilihan, menciptakan suasana yang hangat dan tradisional. Di bagian depan, tengah, dan kiri depan istana, terdapat 13 meriam kuno buatan Portugis dan Prancis, menunjukkan kejayaan dan status kesultanan pada masa lalu.
Salah satu ciri menonjol dari istana ini adalah mimbar yang menjorok ke depan, yang dulunya digunakan oleh sultan untuk bersantai atau menikmati pemandangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Di dalam aula utama, terdapat cermin antik dari Prancis yang disebut "Kaca Seribu" oleh penduduk setempat. Warna dominan di dalam istana adalah warna kuning, yang merupakan ciri khas dari banyak keraton Melayu.
- Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
(Sumber: https://media.suara.com/pictures/653x366/2017/05/31/82335-masjid-jami-pontianak-atau-masjid-sultan-syarif-abdurrahman.jpg)
Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie didirikan pada tahun 1778 oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang juga merupakan pendiri Kota Pontianak. Masjid ini memiliki makna sejarah yang mendalam, karena tidak hanya menjadi tempat ibadah tetapi juga menjadi salah satu bangunan yang menyaksikan berdirinya kota tersebut. Pemberian nama "Jami’" menunjukkan perannya sebagai masjid utama atau pusat kegiatan keagamaan di wilayah tersebut.
Salah satu ciri utama dari Masjid Sultan Syarif Abdurrahman adalah arsitektur kayu belian yang khas. Masjid ini memiliki enam tiang besar yang terbuat dari kayu belian dengan diameter yang besar, memberikan struktur yang kokoh dan kuat. Konstruksi utama masjid ini sebagian besar menggunakan kayu belian, termasuk atapnya yang terbuat dari sirap, potongan kayu belian tipis. Atap masjid memiliki empat tingkatan, dengan jendela-jendela kaca kecil pada tingkat kedua dan atap yang menyerupai kuncup bunga atau stupa pada tingkat paling atas. Salah satu ciri khas masjid ini adalah mimbar yang unik, yang mirip dengan geladak kapal. Mimbar ini memiliki kaligrafi yang terukir pada media kayu plafon di sisi kanan dan kiri. Ini menunjukkan perpaduan seni kaligrafi dengan arsitektur kayu yang mencerminkan keindahan budaya Islam.